Dilema
Di kala senja, cucuran keringat mengalir deras mengalir
pada diri seorang remaja. Kecintaannya terhadap benda elektronik telah
membuatnya lupa akan keberadaannya. Tak kenal lelah dan tak kenal waktu, siang
ataupun malam sama saja baginya. Sebut saja Hanur, seorang mahasiswa kedokteran
di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Kesenangannya terhadap barang
elektronik membuatnya lupa akan jurusan yang dijalaninya. Kuliah pun tak beres
kadang masuk dan sering membolos hanya untuk mencari barang elektronik bekas
yang bisa digunakan lagi. Berkat kecerdasan otaknya tanpa mengikuti kuliahpun
Hanur sudah bisa mengerjakan ujian. Sebab itulah Hanur dapat lulus walaupun
jarang berangkat kuliah.
Mungkin sangat lucu jika seorang sarjana kedokteran di salah satu universitas terkemuka kini
menjadi pengusaha elektronik. Sungguh bidang yang jauh dari jurusan yang ia
tekuni sewaktu kuliah. Gelar dokter hanyalah embel – embel yang hanya dipakai
di papan nama saja. Semua ini berawal ketika Hanur lulus SMA dan ingin
melanjutkan kuliah jurusan elektronik, tetapi keinginannya sangat bertentang
dengan kehendak ayahnya yang menginginkan Hanur menjadi dokter.
“Ayah aku sangat suka dengan barang – barang elektronik,
aku ingin sekali bisa membuatnya sendiri. Oleh karena itulah aku ingin masuk
jurusan teknik elektro.” Pinta Hanur pada ayahnya. “Tidak anaku kau kan masuk
jurusan kedokteran, menjadi dokter lebih memiliki wibawa dibanding menjadi
pengusaha.” Dengan tegas ayah Hanur menolak pinta anaknya itu. “Kenap yah..?
Aku ini sudah besar dan aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Aku ingin
menjadi pengusaha lantaran aku ingin membuka lapangan pekerjaan bagi orang –
orang yang membutuhkannya.” Bujuk Hanur pada ayahnya. “Tidak Hanur ... kau akan
tetap menjadi dokter kau itu cerdas dan ayahpun mampu untuk membiayai kamu
unhtuk menjadi dokter.” Ayah Hanur tetap bersikeras memaksa Hanur untuk menjadi
seorang dokter. Di tengah – tengah perdebatan Hanur dan ayahnya, Ibu Hanur
datang dan membujuk Hanur untuk menuruti keinginan ayahnya. “Hanur Kau ini nak
laki – laki satu – satunya, jadi kau harus ikuti apa yang ayahmu katakan.
Ayahmu hanya ingin kamu sukses dan tak bingung mencari pekerjaan sana – sini
dan jika kamu menjadi dokter kehidupanmu dimasa depan akan terjamin.” Bujuk ibu
Hanur. “Tapi ibu ... “ Keluh Hanur dengan melas. “Sudah diam kamu, semua ini demi
kebaikan kamu juga !” Paksa ayah Hanur dengan keras.
Dengan sangat terpaksa akhirnya Hanur mengambil jurusan
kedokteran seperti yang ayahnya inginkan. Keceriaan yang biasa ia tunjukan bak
ditelan bumi. Tak ada rasa senang sedikitpun dihatinya, “Apa boleh buat, ini
adalah keputusan ayahku. Aku tak bisa memilih dan aku tak sanggup untuk
menentangnya saat ini.” Perasaan pasrah dengan apa yang telah ditetapkan
untuknya. 3 bulan Hanur menjalani kuliah dengan lancar, tapi siapa sangka rasa
cinta pada elektronik yang telah lama mengakar dihatinya muncul dengan bentuk
sikap dan tindakan. Tak jarang ia menyelinap masuk ke fakultas elektro dan diam
diam mendengarkan kuliah yang bukan jurusannya. Tak jarang ia membolos kuliah
hanya untuk pergi menyelinap masuk ke laboratorium fakultas elektro dan
mengotak – atik peralatan yang ada di dalamnya. Hingga akhirnya perilakunya
diketahui oleh dosen pembimbingnya, iapun ditegur dan dihukum karena
kelakuannya yang lupa dengan jurusan yang ia pilih. “Benar juga yang dikatakan
dosenku, jika kau seperti ini terus aku tak akan lulus dari sini dan akau tak
akan pernah bebas menjalani hobiku, aku harus belajar dan manahan diri terhadap
apa yang akau inginkan untuk sementara waktu.” Perkataan Hanur dalam hati.
Sejak saat itu Hanur belajar dan muali bisa fokus dengan mata kuliahnya, waktu
terus berjalan dan tak terasa ujian kelulusan telah tiba. Semua mahasiswa
mempersiapkannya dengan sangat serius, termasuk juga Hanur yang ingin cepat –
cepat meninggalkan bangku kuliah. Waktu yang ditentukan telah tiba, semua orang
tua dari mahasiswa datang untuk menyaksikan wisuda anakanya begitu juga orang
tua dari Hanur.
“Ayah Ibu kini aku telah menyelesaikan tugasku. Kini aku
telah menjadi dokter seperti apa yang ayah dan ibu inginkan. Semua pengorbanan
dan biaya yang dikeluarkan aku ucapkan terimakasih. Kini aku punya 1
permintaan, apakah ayah dan ibu mau mengabulkannya ?” Hanur mengajukan
permintaan kepada ayah dan ibunya. “oohhh ... tentu kau telah menuruti apa yang
ayah katakan, sekarang katakanlah apa yang kamj inginkan ?” Ayah Hannur
menjawab dengan lues dan sangat lembut. “ini ijazahku, kau berikan kepada ayah
dan aku mohon ijin untuk pergi ke Jakarta menemui paman Erwin dan belajar untuk
menjadi wirausaha. Bolehkah aku ke sana Ayah ?” Pinta Habur pada ayahnya. “Apa
kau bilang !!! kamu ini sudah menjadi dokter dan dengan inni kehidupanmu akan
baik dan terjamin. Sungguh kau tetap saja seperti yang dulu !!!” Bentak ayahnya
dengan keras. “ Tapi ayah ... aku tak nyaman mejadi dokter. Aku sama sekali tak
memiliki jiwa dokter. Aku tak bisa lepas dari hobiku mengotak – atik alat
elektronik dan aku sangat ingin menjadi wirausaha.” Bujuk Harun dengan melas
pada ayahnya. “ Oke kalau itu yang kamu minta pergi saja kamu dari rumah ini,
dan jangan pernah kembali sebelum kau sukses dan menjadi orang besar yang
dihargai dan diakui masyarakat !!!” Usir ayah Harun . tak disangka kecintaanya
pada hobinya telah membuatnya mengecekan ayahnya yang telah bersusah payah
membiayai dia untuk menjjadi seorang dokter. Kini semua pengorbanannya sia –
sia, yang ia dapatkan hanyalah selembar bukanlah Harun sebagai dokter.
5 tahun Hanur merantau ke tempat pamannya untuk bekerja
dengannya dan sekaligus belajar menjadi wirausaha. Dia belajar bagaimana
mekanisme pasar, mengelola keuangan dengan baik dan memanagemen suatu lembaga
agar berjalan dengan lancar. Setelah meras cukup akan pengalaman dan ilmu yang
ia dapatkan, Hanur pergi ke Jogja untuk merintis usahanya, Hanur mempunyai
banyak sekali kenalan semasa kuliah di Jogja dulu. Hal itu membuatnya mudah
untuk mendapatkan informasi serta berbagai macam kesempatan untuk promosi. Pada
awalanya Hanur hanya memiliki 1 toko elektronik berkat kegigihannya dan
keuletannya kini dia memiliki banyak cabang toko di bebagai daerah di Jawa,
Kalimantan, Sumatra dan Bali. Bahkan kini dia sedang merintis pabrik elektronik
yang sejak dulu ia impi – impikan. Semua itu tak mudah Harun dapatkan begitu
saja, berbagai hambatan dan rintangan telah ia lalui. Lika – liku kehidupan
yang begitu menyakitkan ia lewati.
Bersakit – sakit dahulu bersenang – senang kemudian, peribahasa yang sangat
cocok bigi para wirausaha. Setelah ia
mendapatkan apa yang ia inginkan sejak dulu, Harun kembali ke rumah dengan dada
membusung. Begitu bangganya orang tua Harun melihat kesuksesan anaknya yang
dulu dilarang untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
by : Andrian Izza
Prayudhi




bagus perlu dikembangkan .. sering - sering nulis ...biar bagus
BalasHapusk=njir admine komen dewek :v
BalasHapusterimakasih atas masukannya @rafly boken
BalasHapus